A.
Biografi
Junaid Al-Baghdadi
JUNAID AL-BAGHDADI memiliki
nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi.
Beliau adalah putra seorang pedagang barang pecah belah sehingga beliau sering
dikaitkan dengan nisbat, Al-Qawairi. Merupakan keponakan Surri as-Saqti serta teman akrab
Haris al-Muhasibi. Beliau adalah pemuka thariqah kaum sufi, berasal dari
Nahawand, akan tetapi lahir dan tumbuh besar di Irak. Beliau termasuk tokoh
sufi yang teguh dalam menjalankan syariat Islam. Al-Junaid dikenal
sebagai seorang faqih dalam fiqih madzab Abu Tsaur dan berfatwa di
halaqah-nya ketika usianya baru dua puluh tahun. Beliau berguru kepada pamannya
sendiri, Ats-Sari As-Saqthi.[1]
Dikisahkan bahwa diantara toko-tokoh sufi di masanya, Junaid
al-Baghdadi adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan yang luas tentang ajaran
tasawwuf, dan mampu mengulasnya secara mendalam, khususnya tentang tauhid dan
fana’. Oleh karena itu beliau diberi gelar Syaikh at-Ta’ifah (Imam kaum sufi).
Salah seorang diantara sufi-sufi temannya, al-Hadad mengatakan: “ seandainya
akal itu berwujud manusia, dia itu adalah Junaid al-Baghdadi “. Ungkapan ini
menunjukkan kesungguhan, ketenangan dan ketajaman pemikiran Junaid al-Baghdadi.[2]
Beliau merupakan seorang yang luar biasa teguh dalam menjalankan
syariat. Memperdalam kenaikan jiwa dalam shufiyah pun meningkat tangga yang
tinggi. Dalam pada iti tidaklah pula beliau lupa berusaha untuk sekedar akan
dimakan. Al-Qusyairi meriwayatkan di dalam kitabnya “Ar Risalah” bahwa Abu Ali
al-Daqqaq, salah satu murid Junaid al-Baghdadi menceritakan suatu hari
dilihatnya di tangan gurunya itu ada seuntai tasbih, kemudian bertanya: “Tuan
masih memakai tasbih?” Lalu beliau menjawab: “tasbih ini hanya semata alat yang
ada di tangan dalam perjalanan menuju Dia. Tuhanku Yang Maha Kuasa, maka
tidaklah Dia akan ku lepaskan”.[3]
Setiap hari setelah selesai berdagang dan mengajar beliau selalu
menyampetkan diri sholat sampai empat ratus rakaat. Hingga beberapa muridnya
seperti Abu Bakar Al Aththaar, Abu Muhammad al-Jurairi, dan Abu Bakar al’Athawy
menceritakan betapa indahnya beliau ketika akan meninggal dunia. Beliau masih
tetap mengerjakan shalat sunnah disamping shalat fardhu, meski beliau sudah
tidak bisa untuk bangun lagi. Melihat itu murid-muridnya baerkata: “Apakah
artinya ini wahai Abul Qasim? Tuan guru telah memberat-berati tubuh, padahal
dalam keadaan maut”. Beliau lalu menjawab: “di saat seperti iinilah yang amat
indah mengerjakan ibadah”. Begitulah seterusnya hingga beliau meninggal dunia.
Beliau meninggal dunia di tahun 297 H (910 M).[4]
B.
Pemikiran
Tasawwuf Junaid Al-Baghdadi
Dalam sejarah Junaid al-Baghdadi dikenal sebagai sufi yang banyak
membahas tentang tauhid. Menurut Junaid al-Baghdadi Tuhan itu
Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak
keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara
manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan. Bedanya, pada
mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai
keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke
dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tibuh
manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk
menariknya pada berbagai kesenangan duniawi. Pada gilirannya, ruh terpesona
dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya
ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci
seperti semula. Ia tercemar karena dilumuri kenikmatan dunia yang menipu. dari
pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan
Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai itu, orang harus mampu memisahkan
ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya, menyucikan batin
dan mengandalikan nafsu[5].
Meskipun begitu, Al-Junayd beranggapan, bahwa sufisme adalah
suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya,
esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya)
adalah sifat manusia.
Dari situ, dimaklumi,
bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan
dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak
diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya.
C.
Corak
Pemikiran Junaid Al-Baghdadi
Al-Junaid dikenal dengan pemikirannya yang beraliran salaf. la tidak
bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya
dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya
yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Hal ini tergambar pada suatu peristiwa saat penguasa Abbasiyah melakukan mihnah
(penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah,
Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang
sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihna tersebut. Ada beberapa sufi yang
menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan
ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah.
Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah
juga berguru pada Al Junaid.
Seperti
diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang
dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi
disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung
perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan
pemerintah.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj’ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj’ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Al Junaid juga dipandang
sebagai sufi moderat. Dengan kata lain, beliau mewakili tasawuf para fuqahah
yang mendasarkan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Al Junaid berkata menurut ungkapan Al-Qusyairi, “Barang siapa yang
tidak memelihara Al-Quran, tidak menekuni (mempelajari) hadits-hadits, ia tidak
dapat diikuti teladannya dalam masalah tasawuf ini. Sesungguhnya ilmu kami
terikat pada pokok-pokok Al-Quran dan As-Sunah. Ilmu kami (tasawuf) juga terikat
dengan hadits Rasululloh saw”.[6]
Kemoderatan beliau juga terlihat ketika mendengar anggapan
kebanyakan orang tentang Zuhud sebagai sikap hidupa para sufi yang meninggalkan
kebahagiaan duniawi. Mereka hanya membekali diri untuk mengejar kehidupan dan
kebahagiaan akhirat mereka, seakan-akan tak peduli dengan urusan duniawi
ataupun urusan orang-orang di sekitar mereka. Jangankan urusan dinia dan
orang-orang di sekitarnya, urusan hidupnya sendiri pun terkadang tidak terlalu
dipedulikan.
Banyak sufi yang perpandangan seperti itu tentang zuhud, terkecuali
Junaid al-Baghdadi, beliau beranggapan: “zuhud model sepeti itu hanya akan
membawa orang termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan”.[7]
Di sini menurut anggapan beliau aplikasi zuhud bukanlah
meninggalkan kehidupan dunia sama sekali. Melainkan tidak terlalu mementingkan
kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap muslim termasuk para sufi tetap
berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan
juga untuk keluarganya. Letak zuhudnya adalah bila ia memperoleh rezeki yang
lebih dari cukup, ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih
memerlukannya.
D.
Karya-Karya
Junaid al-Baghdadi
Menurut Al-Sarraj,
Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar Shathiyat Abi
Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al
Rasa’il.[8]
Al-Rasa’il
selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya,
juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika
menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul
Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.
[1] Prof.Dr.Syeikh
Abdul Halim Mahmud, Tasawwuf di dunia Islam ( Bandung: CV Pustaka Setia,
2002), hal 33
[2] Prof.Dr.H.Ahmadi
Isa, MA, Tokoh-Tokoh Sufi ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), hal
149
[3] Prof.Dr.Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya ( Jakarta: 1983), hal 97
[4] Ibid.
[6] Prof.Dr.Syeikh
Abdul Halim Mahmud, Tasawwuf di dunia Islam ( Bandung: CV Pustaka Setia,
2002), hal 164
[8] http://ahmedelkariem.blogspot.com/2010/01/junaid-al-baghdadi.html
Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu Dik Lilla Rahmawati, mau tanya ada nggak kitab karangan khusus Imam Junaydi Al-Baghdadi yg versi pdf ? Klo ada please dishare linknya yach 🙏🙏🙏 sebelumnya saya ucapkan Syukron Katsiron.
BalasHapus