Senin, 26 November 2012

JUNAID AL-BAGHDADI



A.    Biografi Junaid Al-Baghdadi

JUNAID AL-BAGHDADI memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi. Beliau adalah putra seorang pedagang barang pecah belah sehingga beliau sering dikaitkan dengan nisbat, Al-Qawairi. Merupakan  keponakan Surri as-Saqti serta teman akrab Haris al-Muhasibi. Beliau adalah pemuka thariqah kaum sufi, berasal dari Nahawand, akan tetapi lahir dan tumbuh besar di Irak. Beliau termasuk tokoh sufi yang teguh dalam menjalankan syariat Islam. Al-Junaid dikenal sebagai seorang faqih dalam fiqih madzab Abu Tsaur dan berfatwa di halaqah-nya ketika usianya baru dua puluh tahun. Beliau berguru kepada pamannya sendiri, Ats-Sari As-Saqthi.[1]
Dikisahkan bahwa diantara toko-tokoh sufi di masanya, Junaid al-Baghdadi adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan yang luas tentang ajaran tasawwuf, dan mampu mengulasnya secara mendalam, khususnya tentang tauhid dan fana’. Oleh karena itu beliau diberi gelar Syaikh at-Ta’ifah (Imam kaum sufi). Salah seorang diantara sufi-sufi temannya, al-Hadad mengatakan: “ seandainya akal itu berwujud manusia, dia itu adalah Junaid al-Baghdadi “. Ungkapan ini menunjukkan kesungguhan, ketenangan dan ketajaman pemikiran Junaid al-Baghdadi.[2]
Beliau merupakan seorang yang luar biasa teguh dalam menjalankan syariat. Memperdalam kenaikan jiwa dalam shufiyah pun meningkat tangga yang tinggi. Dalam pada iti tidaklah pula beliau lupa berusaha untuk sekedar akan dimakan. Al-Qusyairi meriwayatkan di dalam kitabnya “Ar Risalah” bahwa Abu Ali al-Daqqaq, salah satu murid Junaid al-Baghdadi menceritakan suatu hari dilihatnya di tangan gurunya itu ada seuntai tasbih, kemudian bertanya: “Tuan masih memakai tasbih?” Lalu beliau menjawab: “tasbih ini hanya semata alat yang ada di tangan dalam perjalanan menuju Dia. Tuhanku Yang Maha Kuasa, maka tidaklah Dia akan ku lepaskan”.[3]
Setiap hari setelah selesai berdagang dan mengajar beliau selalu menyampetkan diri sholat sampai empat ratus rakaat. Hingga beberapa muridnya seperti Abu Bakar Al Aththaar, Abu Muhammad al-Jurairi, dan Abu Bakar al’Athawy menceritakan betapa indahnya beliau ketika akan meninggal dunia. Beliau masih tetap mengerjakan shalat sunnah disamping shalat fardhu, meski beliau sudah tidak bisa untuk bangun lagi. Melihat itu murid-muridnya baerkata: “Apakah artinya ini wahai Abul Qasim? Tuan guru telah memberat-berati tubuh, padahal dalam keadaan maut”. Beliau lalu menjawab: “di saat seperti iinilah yang amat indah mengerjakan ibadah”. Begitulah seterusnya hingga beliau meninggal dunia. Beliau meninggal dunia di tahun 297 H (910 M).[4]

B.     Pemikiran Tasawwuf Junaid Al-Baghdadi
Dalam sejarah Junaid al-Baghdadi dikenal sebagai sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Menurut Junaid al-Baghdadi Tuhan itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan. Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi. Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. Ia tercemar karena dilumuri kenikmatan dunia yang menipu. dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya, menyucikan batin dan mengandalikan nafsu[5].
Meskipun begitu,  Al-Junayd beranggapan, bahwa sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya.

C.     Corak Pemikiran Junaid Al-Baghdadi
Al-Junaid dikenal dengan pemikirannya yang beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Hal ini tergambar pada suatu peristiwa saat penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihna tersebut. Ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga berguru pada Al Junaid.
Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj’ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Al Junaid juga dipandang sebagai sufi moderat. Dengan kata lain, beliau mewakili tasawuf para fuqahah yang mendasarkan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Al Junaid berkata menurut ungkapan Al-Qusyairi, “Barang siapa yang tidak memelihara Al-Quran, tidak menekuni (mempelajari) hadits-hadits, ia tidak dapat diikuti teladannya dalam masalah tasawuf ini. Sesungguhnya ilmu kami terikat pada pokok-pokok Al-Quran dan As-Sunah. Ilmu kami (tasawuf) juga terikat dengan hadits Rasululloh saw”.[6]
Kemoderatan beliau juga terlihat ketika mendengar anggapan kebanyakan orang tentang Zuhud sebagai sikap hidupa para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka hanya membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat mereka, seakan-akan tak peduli dengan urusan duniawi ataupun urusan orang-orang di sekitar mereka. Jangankan urusan dinia dan orang-orang di sekitarnya, urusan hidupnya sendiri pun terkadang tidak terlalu dipedulikan.
Banyak sufi yang perpandangan seperti itu tentang zuhud, terkecuali Junaid al-Baghdadi, beliau beranggapan: “zuhud model sepeti itu hanya akan membawa orang termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan”.[7]
Di sini menurut anggapan beliau aplikasi zuhud bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali. Melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap muslim termasuk para sufi tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan juga untuk keluarganya. Letak zuhudnya adalah bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup, ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.

D.    Karya-Karya Junaid al-Baghdadi
Menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al Rasa’il.[8]
Al-Rasa’il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.


[1] Prof.Dr.Syeikh Abdul Halim Mahmud, Tasawwuf di dunia Islam ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hal 33
[2] Prof.Dr.H.Ahmadi Isa, MA, Tokoh-Tokoh Sufi ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), hal 149
[3] Prof.Dr.Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya ( Jakarta: 1983), hal 97
[4] Ibid.
[5] http://ahmedelkariem.blogspot.com/2010/01/junaid-al-baghdadi.html

[6] Prof.Dr.Syeikh Abdul Halim Mahmud, Tasawwuf di dunia Islam ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hal 164
[7] http://ahmedelkariem.blogspot.com/2010/01/junaid-al-baghdadi.html

[8] http://ahmedelkariem.blogspot.com/2010/01/junaid-al-baghdadi.html

1 komentar:

  1. Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu Dik Lilla Rahmawati, mau tanya ada nggak kitab karangan khusus Imam Junaydi Al-Baghdadi yg versi pdf ? Klo ada please dishare linknya yach 🙏🙏🙏 sebelumnya saya ucapkan Syukron Katsiron.

    BalasHapus